beberapa kasus eutanasia termasuk indonesia

Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

Amerika Serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).

Kasus Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktik dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

Kasus "Doctor Death"
Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan Lori A. Roscoe . Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale, California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi "menolong" pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.

Kasus rumah sakit Boramae - Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja

Kasus BBC
Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan keluarganya, ia menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Proses menuju kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu adalah Peter Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak terlarang. Ia pun meminta dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana dia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa acara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya saat meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial lainnya serta media cetak membuat BBC dijuluki 'pemandu sorak' euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten mengenai acara itu. Warga menganggap acara ini 'tak pantas'. Kelompok amal, politik dan agama bergabung menyatakan acara ini 'propaganda' euthanasia. Dalam gugatan, tertulis, "Menayangkan kematian pasien di acara demi hiburan, BBC harus punya alasan kuat". Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of Berriew mengatakan, BBC menayangkan acara ini guna mendukung bunuh diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900 warga membuat pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru bicara BBC menambahkan, "Terkait acara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162 pengaduan, total pengaduan pun menjadi 898". Regulator media Ofcom sendiri mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC mendapat 'banyak' pengaduan.

Bagikan info keren ini ke :

0 komentar:

Posting Komentar

komentar kalian adalah kebahagiaan untuk saya wekwek